Oleh: Mukhtar Tompo
Ketika menerima pesan undangan melalui aplikasi dari penggiat adat budaya, Muhlis Paraja Daeng Pajari, juga merupakan Ketua AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Kabupaten Gowa yang menginisiasi terselenggaranya Diskusi seputar adat istiadat dan budaya bertema Perluasan Partisipasi Masyarakat Adat Kabupaten Gowa Dalam Demokrasi Politik pada 9 dan 10 November 2023 di Daerah Malino, Kawasan Kaki Gunung Bawakaraeng, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, seketika itu juga saya mengingat tekad lama untuk menulis pikiran saya tentang pentingnya melestarikan adat melalui parlemen legislatif sebagai manifestasi politik yang memajukan adat, politik yang memelihara adat, berangkat dari politik nurani; politik yang beradat.
Adat bagian tak terpisah dari kehidupan Indonesia, baik setelah proklamasi, ataupun jauh ke belakang sebelum dinisbahkan oleh Patih Majapahit dengan sebutan nusantara. Indonesia merupakan maritim sekaligus agraris, dianugerahi ribuan kepulauan sekaligus bentangan pegunungan nyaris di semua propinsi hingga kabupaten, negara dengan area jutaan hektar persawahan dan perladangan juga hutan rimba belantara sekaligus surga pertambagan batu dan minyak bumi. Dengan alam seperti ini, yang dihuni lebih dari 278.353.310 jiwa (worldometers.info/worldpopulation), memiliki lebih dari 300 kelompok etnik, 1.340 suku, dan 742 bahasa dan dialek (BPS). Sangat wajar jika Indonesia disebut oleh UNESCO sebagai salah satu negara dengan adat istiadat terbanyak di dunia, khususnya di Asia Tenggara.